Bermula Mimpi dan Sakit Perut-yang Menyadarkan

Sedang menolong dan menggendong seorang lelaki setelah ia banyak mendengar ceritaku. Nampaknya ia sakit. Berat. sampai harus menggosok punggungnya dipenuhi air liurnya yang banjir.
Tidak tahu, bagaimana bisa aku menggendong seorang pria. Tapi aku menggendongnya hingga keluar ruangan.

Di teras depan aku menjumpai teman teman yang masih berdiskusi jadi pergi atau tidak. Mereka ingin aku ikut. Tidak peduli dengan pria di sampingku. Entah tidak peduli atau mereka tidak melihat pria itu.
Aku lantas melihat jam. Itu sudah pukul setengah sebelas malam.
Hal yang benar-benar mengejutkan. Perasaan cemas karena belum mengabari ibu di rumah akan pulang terlambat.

***

Terbangun dengan masih membawa perasaan itu. Cemas

Sakit perut kembali terasa. Sakitnya datang pergi lalu datang lagi. Sungguh menyakitkan.

Aku tahu benar. Yang kuinginkan saat ini hanya ibu.

Saat sakit aku hanya ingin ibu yang menemani dan mengobatiku. Aku sembuh kalau diobati ibu.
Sampai suatu hari aku menyadari bukan obat ibu yang membuat ku sembuh. Tapi, sugesti di kepalaku setiap sakit hanyalah mengulang mantra ini.

"Ibu sudah di sini. Aku pasti sembuh."

Buruknya, akan ada satu hari nanti aku sakit atau bersusah hati tapi ibu tidak bisa menemani. Dan aku sungguh ketakutan menanti hari itu.

Kembali masih menahan sakit ini di sofa depan tipi. Sempat tertidur kesakitan setelah tetiba makan berat after berbuka dan shalat magrib.
Di kepala cuma ibu. Tidak sadar ini terjadi. Di kepala cuma benar-benar ada ibu.

Sakit di perut perlahan mulai pergi ketika mendengar pagar rumah di dorong. Aku tahu dari cara mendorongnya, itu ibu-sudah pulang dari shalat Tarawih.
Yang ingin ku lakukan saat itu hanyalah mengadu tentang sakitku sedari jam tujuh.

Ibu langsung pula mengambil minyak oles. Memijat perutku dengan telaten. Sampai aku menyadari. Ibu pun sedang sakit saat mengobatiku. Ibu mengaduh saat lututnya ngilu. Ibu terjerembab terduduk setelah mengobati.

Aku masih lemas untuk menggerakkan badan. Tapi mataku belum alpa melihat ia langsung rehat dan berbaring di lantai depan telepisi sambil berbatuk-batuk.

***

Menuliskan ini tepat setelah perut mulai membaik dan sudah merasa normal. Menuliskan ini tepat setelah menyadari satu hal.

Aku masih menjadi anak ibu yang manja.


Sejauh-jauhnya dari ibu hanya saat kkn.
Sampai hari ini ibu selalu mengingatkan kalau suatu hari harus berhadapan dengan perasaan bersusah hati tapi tak ada ibu yang bisa membantu. Akan ada hari aku sakit, tapi ibu tak ada di samping untuk mengobatiku.

Lantas mengingat teman-teman yang sedang merantau di sini. Betapa mereka jauh dari ibu-ibu mereka.

Aku tidak tau harus merasa merugi atau beruntung di masa kuliah aku belum merantau jauh.
Berkali aku pernah melihat temanku bersedih, lara hatinya lantaran rindu rumah. Tidak terkecuali lelaki. Aku pernah menangis di samping seorang teman lelaki hanya karena ia bercerita tentang rindunya ia pada kampung halaman dengan mata berkaca-kaca.

Aku tidak tau harus merasa merugi atau beruntung di masa kuliah aku belum merantau jauh.
Keadaanku ini kadang membuatku masih egois. Mementingkan diri sendiri. Lantaran masih hidup satu atap bersama orang tua.

Kadang belanja karena hasrat kebendaan tanpa ingat buat beli makan. Merasa setiap pulang akan makan di rumah. Walau nasi belum masak dan tak ada lauk yang bisa di masak. Ada indomi di warung ibu dan beras yang masih bisa ditanak setiap hari.

Jika kau ingat perasaan membangkangmu ketika masih usia sekolahan..
Aku masih merasai itu sampai sekarang. Aku masih jadi anak kecil di usia 22 tahun. Terlalu.
Aku masih punya marah ketika tak sepaham dengan ibu bapak bahkan adik-adikku.

Segala hal "mewah" berupa masih hidup seatap dengan keluarga kadang membuatku buta.

Aku harusnya bersyukur karena tidak kurang sesuatu apapun-dalam hal keluarga yang masih lengkap, aku yang masih bisa makan 3 kali sehari dengan baik, kondisi tubuh yang lengkap, lalu bisa bersekolah dengan baik pula.

Aku kadang lalai. Tidak melihat segala ini. Sampai masih merasa "kurang". Masih merasa gelisah. Sampai kadang tidak bersemangat melakukan apapun.

Lalu perasaan yang merasa "kurang" ini ku hadapi pula dengan "melarikan diri".
Entah melakukan perjalanan lintas kabupaten. Atau hanya bermalam sehari semalam di kos teman.
Beberapa perasaan ini pernah sempat mengudara di postingan yang lalu.

Dulu.. setiap kali melakukan perjalanan, kerap menyesal sudah "pergi". Jauh dari rumah membuat segala hal yang mudah terasa sedikit berat. Bahkan ketika makan, yang ada di kepalamu hanyalah tentang meja makan di rumah.

Hari ini ketika belajar lebih baik lagi, sudah tidak lagi menyesali perasaan dan tindakan "pergi".

Sungguh sesuatu yang paling sulit adalah memaafkan diri sendiri.
Tapi, aku tahu setiap inci perasaan di muka bumi ini suatu hari akan menyadarkanmu tentang sesuatu yang membuat haru.

Tidak lagi menyesali "kedongkolan hati" di masa yang lalu hingga menyebabkan "pergi".
Mencoba memaafkan diri. Karena setelah "pergi" aku menyadari dan menghargai perasaan yang baru ku dapatkan.

Dengan jauh dari rumah sekali lagi menyadarkanmu bahwa orang-orang di rumah adalah bagian paling penting dalam hidupmu.

Aku tidak menyesali lagi pernah merasai "kehilangan perasaan". Dengan kehilangan lalu pergi, aku mendapatkan "perasaan dan penjelasan" untuk diri sendiri dengan lebih baik.

Bahwa menjaga dan membuat bahagia orang di rumah adalah salah satu hal paling besar yang selalu jadi tujuan hidupmu.

----------
Jadi, sampai di sini saja bercerita tanpa arah ini.
Sudah 10:51 PM. Waktunya mengisi air di penampungan.

Sebelum pergi ke penampungan air, baru menyadari satu notif bahwa Neptunus sempat menelpon pada 9:38 tadi.

Maaf Neptunus. Aku tak punya apa-apa untuk menghubungimu balik.

Akhir-akhir ini waktu kita tak pernah sama. Dan kau sering menghubungi ku di kala masih tidur.
---------------

Ditulis pada 27 Juni 2016.
Di malam ke 23 Ramadhan.

Comments

Popular Posts