Menyapa Orang Rumah
Assalamu Alaikum
Masih berkelebat dengan draft cerita liburan
di tanjung minggu lalu yang masih beberapa baris kalimat. Saya sedang tidak ingin
melanjutkannya dengan kondisi seperti ini. Saya ingin menuliskannya dengan
kondisi hati sedang berbahagia.
Sekarang sedang sakit, bengkak di
mandel masih betah tinggal di tenggorokan. Sedikit mengganggu dan menurunkan
daya tahan tubuh lain. Saya yang tidak begitu bisa membantu pekerjaan di rumah
menjadi tambah tidak berguna.
Sakit terkadang membuat ingin
bermanja-manja. Tapi, bukan kebiasaan saya memberi tahu ibu bapak jika sedang
sakit. Tergeletak di lantai kamar dengan pintu tertutup. Ibu bapak mengira saya
sudah terlelap.
Makanya, terkadang tidak suka
dengan rumah yang ‘luas’. Ibu terkadang tidak menemukan saya saat sedang
bersedih. Bapak yang pernah tidak mengetahui kalau saya ada di rumah seharian.
Tidak lagi mendengar Inna yang menangis sesunggukan dan mendengar Paris
meringis kesakitan. Tidak bisa membantu pun tak mengapa, setidaknya setiap
bangun pagi dulu saya tahu ketika mereka sedang bersedih atau sedang tidur
terlelap malamnya. Setidaknya saya tahu ketika mereka bersedih hati. Anggap
saja, kini mereka selalu berbahagia. Aamin.
Tapi, kembali lagi. Tetap saja,
harus bersyukur dengan semua yang telah diberi. Jika diberi rumah kecilpun
pasti mengeluh. Menerima semuanya dan selalu menanyakan kabar juga saling
bercerita kehidupan di luar sepertinya bisa menepis semua rasa gelisah itu. Mengunjungi kamar adik-adik dan ibu bapak
adalah hal yang paling saya suka.
01:08 AM. Mencoba membalikkan badan
menatap dinding-dinding dan langit-langit kamar. Mengingat kosan teman-teman.
Yang perlu saya sadari adalah, saat kuliah berakhir dan teman-teman menanyakan
ingin kemana, jawaban “mau ka’ pulang” benar-benar berarti secara harfiah. Saya
benar-benar ‘pulang ke rumah’. Tempat ibu bapak membesarkan saya. Tumbuh
bersama adik-adik. Tempat melepas kepenatan dan semua yang membuat kesal dari
luar rumah. Dan yang paling perlu di syukuri sampai hari ini saya masih bisa
memakan makanan buatan ibu bapak. Bapak?
Iya, bapak. Bapak saya jago masak. ^^d
01:13 AM. Baru menyadari ada
sesuatu yang baru di cermin lemari pakaian. Foto saya bersama ibu saat masih berumur
5 tahun. Mungkin ibu yang menempelnya. Tertempel
di bawah foto saya bersama bapak saat mengikuti seminar Kurikulum 2013, Agustus
lalu. Saya memang belum memiliki foto terbaru bersama ibu yang tercetak.
Ibu menempelnya. Ibu ingin
mengingatkan bahwa betapa pun saya merasa tidak berguna, ibu dan bapak akan
tetap menerima. Adik-adik akan tetap selalu ingin bermain dan bercanda dengan
saya. Urakan bagaimana pun saya saat pulang ke rumah, ibu, bapak, dan adik-adik
akan tetap menerima saya.
Seperti di foto itu. Ibu masih
menjaga rasa sayangnya saat menggendong saya belasan tahun yang lalu hingga
saat ini..sampai selamanya. SELAMANYA!
Karena saya tahu, untuk ibu, kata
‘selamanya’ bukan berarti hanya selama 2 tahun 3 bulan atau 1 tahun 8 bulan
seperti teka-teki buatan Erick.
“Menurutmu, selamanya itu berapa
lama?”, tanya Erick ke beberapa teman kelas.
“...”, tidak ada jawaban. Semua
sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga mati atau hingga bumi ini hancur
bisa jadi pilihan jawaban yang rasional.
“Selamanya itu.. 1 tahun 8 bulan”,
Erick menjawab sendiri pertanyaannya. Ada senyum getir di sana. Mengingat saat
berpacaran (dulu) orang yang disukainya mengatakan “menyayangi selamanya” dan
mereka beralhir setelah 1 tahun 8 bulan bersama.
Setidaknya kalian harus tahu,
jangan gegabah mengatakan selamanya. Karena kata “selamanya” yang berkonotasi
baik itu terkadang yang menyakiti orang-orang yang paling kita sayangi. (Setidaknya untuk kasus ini)
Saya tahu, untuk
ibu, selamanya adalah benar-benar selamanya.
Kalian punya orang-orang
yang terkadang membuat kesal, tapi tidak benar-benar bisa membenci mereka?
Seharusnya setiap orang punya.
Kalau harus
menyebut nama, Kiki, Diva, Ghalib, Emin, Rais, Awal, Iwan, Tari, dan Ramdhan
masuk ke dalamnya. Tapi, saya benar-benar memiliki perasaan berharga yang
tersimpan di carta hati untuk mereka-mereka semua. Perasaan berharga untuk
orang-orang di rumah, untuk teman-teman, untuk orang-orang yang disukai, untuk
mereka yang mempercayai, untuk mereka yang selalu baik. Saya menyukai ibu, bapak,
dan adik-adik lebih dari tulisan ini.
Saya menyukai
ketika Inna dan Paris, adik-adik saya, memanggil saya “kakak”. Karena berapa
kalipun kalian melihat saya, sosok “kakak yang baik” itu belum benar-benar ada.
Adik-adik saya yang berharga.
Betapa saya tambah
menyukai bapak, setiap kali membelikan makanan atau barang-barang sebagai
permintaan maaf saat tidak sengaja mengatakan hal yang tidak baik. Saya
menyukai caranya meminta maaf yang seperti anak kecil.
Betapa saya sangat
menyukai ibu, ketika merangkul saya saat sedang sakit. Mengkhawatirkan keadaan
saya dengan berpura-pura menanyakan hal lain. Betapa saya menyukai cara ibu
mengungkapkan rasa sayangnya dengan cara yang berbeda.
Betapa saya
menyukai mereka saat berkumpul bersama-sama menonton film di tv bersama. Tanpa
hanphone atau gadget lain di tangan.
Betapa saya
menyukai mereka saat tertawa bersama-sama menyaksikan karakter kartun yang
bertingkah konyol.
Saya sangat suka cerita tentang hal-hal konyol di rumah. Betapa saya sangat suka cerita-cerita "orang rumah" Ayu. Betapa mengharukannya cerita "orang rumah" Ramdhan. Entah bagaimana saya senang ketika ada yang memberi tahu kejadian di rumah mereka.
Tapi, saya tahu posisi saya sekarang. Belajar di tempat yang sama dengan tempat mengajar bapak, membuat saya membatasi cerita-cerita di rumah. Anak-anak didiknya punya pandangan tersendiri tentang bapak, dan saya sedang tidak ingin 'mengganggu' sudut pandang mereka sebagai mahasiswa yang telah diajar oleh bapak.
Pernah, saya
merasa bodoh mencari penerimaan di tempat lain. Mencari tempat-tempat yang
membuat nyaman. Ikut komunitas, (rumah) teman, tempat wisata, Bukit
Manggarupi..
Saya punya satu
hal yang saya lupakan di sini. Jujur saja, komunitas, (rumah) teman, dan Bukit
Manggarupi terkadang menjadi tempat ‘pelarian’ penerimaan. Karena benar, saya selalu dianugerahi teman-teman yang baik. Usia,
zaman, dan cara berpikir berbeda terkadang membuat salah paham di rumah. Tapi,
setiap kita juga ditugaskan untuk mengetahui hal-hal di luar rumah. Saya tidak
merasa bodoh lagi mencari penerimaan di luar rumah. Semua punya tujuan. Usaha
saya mencari ‘penerimaan’ di luar membuat saya menyadari hal penting ini. Hal
yang tidak boleh lagi terlupakan. Ibu, bapak, dan adik-adik adalah orang yang
akan selalu menerima.
Banyak-banyak menyadari, sekarang ini saya sedang disibuki oleh hal-hal dari luar rumah.Kepenatan kuliah, keputusan-keputusan yang salah, penyesalan yang membuat kepala sakit karena terlalu dipikirkan, minat yang tidak punya wadah, perseteruan dengan passion dan kenyataan yang belum selaras, dan tentu saja over thinking tentang 'orang yang disukai'.
Hiyaa.. kenapa na nyerempet ke sini lagi. (--,)v
Tapi, tentu saja. Saya benar-benar tidak terlalu menyesali "kepenatan-kepenatan" ini. Saya sedang ingin bersyukur saja. Saya sedang ingin memikirkan hal yang baik-baik saja. Semua "kepenatan" juga punya tujuan. Setidaknya, sekarang saya menyadari banyak yang harus diperbaiki.
Tidak bisa dipungkiri, betapa saya terkadang kesal dengan adik-adik saya yang sedang menjalani masa puber. Saya membayangkan ibu bapak yang mengurus 3 anak puber yang terkadang tidak tahu diri. Keterlaluan. Saya masih dalam usia puber, nah!
Banyak-banyak menyadari, sekarang ini saya sedang disibuki oleh hal-hal dari luar rumah.Kepenatan kuliah, keputusan-keputusan yang salah, penyesalan yang membuat kepala sakit karena terlalu dipikirkan, minat yang tidak punya wadah, perseteruan dengan passion dan kenyataan yang belum selaras, dan tentu saja over thinking tentang 'orang yang disukai'.
Saran Ayu waktu curhat tengah malam Pimen, di tanjung. |
Hiyaa.. kenapa na nyerempet ke sini lagi. (--,)v
Tapi, tentu saja. Saya benar-benar tidak terlalu menyesali "kepenatan-kepenatan" ini. Saya sedang ingin bersyukur saja. Saya sedang ingin memikirkan hal yang baik-baik saja. Semua "kepenatan" juga punya tujuan. Setidaknya, sekarang saya menyadari banyak yang harus diperbaiki.
Tidak bisa dipungkiri, betapa saya terkadang kesal dengan adik-adik saya yang sedang menjalani masa puber. Saya membayangkan ibu bapak yang mengurus 3 anak puber yang terkadang tidak tahu diri. Keterlaluan. Saya masih dalam usia puber, nah!
Tidak bisa
dipungkiri, bapak jarang mengajak saya bicara dari hati ke hati. Yang kita
bicarakan kebanyakan kekonyolan manusia-manusia di dunia. Bapak (mungkin)
mengerti saya seperti saya mengerti bapak. Banyak hal yang belum bisa kita
bicarakan, tapi kita tahu kita saling mengerti.
Entah bagaimana dengan anak pertama di keluarga lain, tapi saya merasa tidak begitu baik dalam membicarakan masalah dengan bapak. Menanyakan hal-hal sensitif tentang di luar rumah atau bagaimana saya ke depannya. Kita hanya selalu berbicara hal-hal yang membuat tertawa. Betapa menggelikannya manusia-manusia di dunia. Betapa terkadang banyak hal lucu dalam masalah-masalah serius.
Entah bagaimana dengan anak pertama di keluarga lain, tapi saya merasa tidak begitu baik dalam membicarakan masalah dengan bapak. Menanyakan hal-hal sensitif tentang di luar rumah atau bagaimana saya ke depannya. Kita hanya selalu berbicara hal-hal yang membuat tertawa. Betapa menggelikannya manusia-manusia di dunia. Betapa terkadang banyak hal lucu dalam masalah-masalah serius.
Tidak bisa
dipungkiri, ke saya, ibu bukan seorang ibu yang akan sering memeluk saya. Atau menjadi ibu yang menanyakan keseharian saya di luar rumah. Dan saya juga tidak begitu baik dalam memulai pembicaraan apapun dengan ibu. Dan saya tahu, adik-adik terkadang tidak suka dengan ini. Mereka memutuskan untuk selalu memulai pembicaraan. Memberi tahu apa yang terjadi dan apa yang mereka rasakan.
Tapi, tidak bisa
dipungkiri juga, saya menyukai mereka.
SAYA MENYUKAI MEREKA!
Comments
Post a Comment
Thanks for Read..
hope you Like and give your comment :D