Waktu Bisa Menyembuhkan: Terima Kasih Selalu Menyapa

Assalamu Alaikum

Haloo.. Ini Pipi'! :D
Pipi' kembali menulis..

Gampang dan terlalu banyak percaya beresiko mengalami kekecawaan yang mendalam.
(Apa ini karena saya golongan darah O? Kepribadian menurut golongan darah sedang jadi hot topic, kan? =..=a)

Mungkin beberapa bulan yang lalu, saya banyak tidak menulis-lebih tepatnya tidak menulis di blog, lihat saja caption instagram dan facebook yang panjang membahana-. Bagaimana mengatakannya ya? Saya waktu itu sedang tidak stabil. Aura negatif terus saja berada di sekitar. Hati jadi terbiasa menghujat, terkadang mengumpat. Setiap hari marah. Kesal. Tapi, yang saya lakukan hanya diam. Dan menjadi diam itu yang bikin jadi tambah buruk.

Kalian tahu tentang istilah
"Biarlah waktu yang menyembuhkan"
Saya termasuk yang selalu bingung dengan istilah ini.
Bagaiman bisa luka yang tidak pernah diobati akan sembuh oleh waktu?
Bagaimana bisa waktu menyembuhkan?
Tapi, teman-teman..waktu benar-benar bisa menyembuhkan..

Saya (saat itu) belum pernah mengerti dengan perubahan sikap seseorang, Baiklah, itu normal. Tapi, hal  ini menjadi krusial ketika satu hari seseorang mengatakan ini kemudian di hari lain melakukan itu.

Seperti seseorang yang menasehati "Saat cuci piring, mulailah dengan membersihkan gelas-gelas dan sendok-sendok terlebih dahulu. Kemudian, di hari lain ketika mencuci piring bersama, ia memulainya dengan membersihkan piring. Bukan sendok atau gelas. Tapi, Piring!
Saya tahu ini sama saja, judulnya sama-sama "cuci piring".

Mungkin hal ini terlihat sepele. Apalagi ini hanya tentang cuci piring. Tapi, tidak untuk saya. Saya mungkin terlihat amburadul dan acak-acakan dalam menjalani hidup, terkesan tidak mau diatur. Tapi, saya selalu punya aturan untuk hal ini dan hal itu. Apa ya? Saya hanya merasa setiap hal kecilpun punya aturan, bahkan hal sepelepun punya aturan main. Bahkan, terkadang saya terlalu keras untuk hal ini. Saya bisa sampai menghukum diri saya sendiri ketika telah melanggar aturan (yang dibuat sendiri).

Saya bisa keras sekali kalau ini tentang apa yang harus dijalani. Pandangan saya terhadap impian, rokok, tattoo, dan yah..jilbab. Saya belum pernah kehilangan respek terhadap teman-teman yang.. memperlihatkan rambutnya padahal sudah memakai jilbab, misalnya. Belum pernah, sekalipun. Saya masih menghargai mereka. Tapi, tentu saja. Ada lubang besar yang menganga di hati saya ketika melihat hal ini terjadi. Orang-orang menyebutnya kecewa.

Saya sudah banyak kecewa pada orang-orang berlabel teman.
Entah 'mengerti teman' adalah hal yang susah atau saya yang terlalu sulit memahami.

Saya termasuk orang yang masih "percaya-percaya saja" pada mereka. Teman. Saya cepat percaya. Ketika mereka mengatakan begini. Menasehati begitu. Saya percaya saja. Mereka teman dan saya pikir semua yang mereka katakan ujung-ujungnya untuk kebaikan saya juga.

Menjanjikan tidak akan pacaran dulu.
Mengajarkan mengikat tali di tas.
Mengajarkan bagaimana menghadapi karakter yang berbeda.
Mengatakan tidak suka orang ini dan orang itu.
Mengatakan tidak suka pada cara bicara yang terlalu berlebihan.
Mengajari saya untuk tidak melakukan ini dan itu.
Menasehati saya untuk mendouble jilbab yang tipis.
Memberitahu untuk memperbaiki sikap.
Menasehati dan mengajarkan cara menjadi perempuan, menempatkan diri.

Banyak hal. Dan itu membuat saya sangat senang karena masih ada saja orang yang ingin mengajak cerita, mau menasehati bahkan mengajari saya.

Tapi, kemudian..datang satu hari..kabar yang menampar saya keras-keras.Bahwa tidak selalu "orang baik" berlaku baik, dan tidak selalu "orang buruk" berlaku buruk.

Kemudian, datang lagi hari lain, keadaan yang benar-benar menyakitkan. Seperti ada batu besar yang menghujam kepala. Menyadarkan bahwa semua orang yang dipercaya dan sangat dekat sekalipun bisa menyakiti hati sampai yang paling dalam.

Kalian tahu rasanya, saat ingin membuka pintu, kemudian dari balik pintu kalian mendengarkan beberapa orang sedang membicarakan kalian?

Tabiat masyarakat sosial. Membicarakan orang lain. Siapa yang ingin memungkiri hal ini?

Saya tahu, tidak ada orang yang bisa lepas dari "pembicaraan" orang lain. Tapi, hari itu..untuk pertama kalinya saya mendengarkan sendiri. Bahwa di dunia nyata ini benar-benar ada yang tidak tulus. Bahwa, orang-orang yang berlabel teman pun bisa berlaku sangat tidak adil.

Hari itu rasanya seperti drama-drama dan sinetron yang sempat saya nonton. Berlari keluar ruangan. Menangis. #drama -___-“

Hari itu, kepercayaan saya seperti dilempar begitu saja.
Setiap keyakinan yang coba jalani, luluh lantak!
Setiap kesalahan yang menyakiti, yang selalu saya coba tutupi..
Kesalahan yang selalu saya coba tutupi dengan "Mereka juga manusia bisa salah." dan juga karena mereka teman. "Teman tidak akan pernah berniat jahat."

Semuanya menguap begitu saja. Luka yang sebelumnya ada, kini menganga lebar. Perih!

Kemudian saya menjadi diam. Tidak berbicara terlalu banyak. Kepercayaan saya menguap.
Saya tidak mengerti. Tidak mengerti. Tidak mengerti!

(menulis ini seperti mengais-ngais luka. Perih. Padahal, saya sudah baik-baik saja.)

Kak Mukhlis dan lebih lagi Kak Bullah pernah mengatakan "Orang berubah itu normal.". Menjadi tidak konsisten itu normal.
Ini bukan tentang karena beberapa orang bersikap tidak seperti yang saya inginkan. Tapi, ini..saya hanya merasa 'tersakiti'

Kalau ingin menghakimi, saya pun tidak konsisten. Saya tahu benar bagaimana saya memperlakukan orang-orang di sekitar saya. Daripada dikecewakan, saya lebih banyak mengecewakan.
Saya hanya tidak mengerti. Saya hanya tidak ingin menerima bahwa hidup hanya tentang kecewa-mengecewakan. Kecewa-dikecewakan.

Dan juga, ibu bapak pernah mengatakan bahwa kehidupan saya itu misterius. "Orang-orang khusus ji itu bisa berteman sama dia.", tambah ibu waktu itu.
Saya mendengar ibu bapak membicarakan 'saya' sesaat setelah bangun. Saya di kamar. Ibu bapak di ruang keluarga.

Seharusnya saya bersyukur dengan orang-orang yang ingin menjadi teman saya.
Terkadang ketika sudah berteman, saya selalu ingin menuntut lebih. Saya ingin diajak pergi bersama, makan bersama. Menuntut ingin didengarkan. Menuntut ingin tahu segalanya.

Seharusnya saya sadar bahwa "keinginan" orang-orang yang ingin berteman dengan saya, bahkan sudah lebih dari cukup. Tidak banyak orang yang ingin berteman (dengan saya). Harusnya saya bersyukur saja. Tisak menuntut ini itu.

Bahwa, mungkin benar. Waktu benar-benar bisa menyembuhkan.

Kegelisahan yang berlarut-larut. Menuntut setiap hari, "Teman-teman sembuhkan ka'. Sapa ka'."
Karena tentu saja. Saya tidak pernah ingin benar-benar membenci teman-teman. Tidak ingin membenci. Tidak. Tidak pernah ingin.

Mungkin benar, bahwa waktu bisa menyembuhkan.
Bahwa setiap moment bisa mengubah sudut pandang dan menerima semua hal yang perih ini dengan baik.

Tapi, selalu. "Membiarkan berlalu" adalah jalan terakhir ketika masalah benar-benar tidak bisa diselesaikan. Satu resiko lain yang harus ditanggung adalah ketika hal yang sama terjadi lagi di masa depan. Kedewasaan akan dipertanyakan.

Ini hanya masalah bom waktu yang kita tidak tahu kapan akan meledak.

Teman-teman, terima kasih selalu menyapa.
Itu selalu menyembuhkan saya dari kekecewaan.
Ketika ke Rotterdam, hari itu saya benar-benar sudah sembuh. Terima kasih.
Saya sudah lebih baik. Saya sudah 'baik-baik saja'.
Saya tahu saya akan selalu baik-baik saja dengan kelas ini. Saya tahu.

"Biarlah waktu yang menyembuhkan" mungkin bukan istilah yang tepat. Tapi, inilah yang benar-benar tejadi.

Terima kasih karena mau menjadi teman.
Terima kasih selalu mengerti, bahkan setelah banyak mengecewakan.
Terima kasih karena tidak pergi.

Menulis di rumah Febi yang cantik ketika semuanya masih tidur pagi.
07:49
July 3, 2014



Tentang waktu yang menyembuhkan luka, itu tidak akan pernah bisa terjadi jika kita hanya membiarkan luka tersimpan kemudian menunggu waktu menyembuhkannya.
Tidak bisa. Tidak akan bisa.

Terima kenyataan. Rasakan sakitnya. Perih memang.
Tapi, itu mi nanti yang menguatkan.
Kepedihan yang dirasakan sekarang itu membuat kebahagiaan yang akan di dapat nanti jadi lebih terasa berlipat ganda.


Sahabat Irmasenja pernah menulis "waktu tidak akan mampu menyembuhkan,tapi penyembuhan membutuhkan waktu"

Comments

  1. Mari berteman Pi', hahah. Tapi serius, sampai sekarang mungkin sama tipikalki. Maksudku, tentang teman-berteman saya juga susahka.

    (Caption fotomu yang tidur pagi, hahaha you mean it.)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ku kira saya ji yang susah berteman hohoh (--,)v

      Yeah, walaupun setelah kalian bangun, gantian saya yang tidur :v

      Delete
    2. Ku kira saya ji yang susah berteman hohoh (--,)v

      Yeah, walaupun setelah kalian bangun, gantian saya yang tidur :v

      Delete
  2. Pernah dengar ini?
    "Kepedihan menuntut untuk dirasakan," dan
    "Some people don't understand the promises they're making when they make them,"
    by The Fault in Our Stars. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pain demands to be felt hohoho

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
    3. Iya, kak. Sudah lama baca itu. Meresap sampai ke dalam-dalam :'

      Delete

Post a Comment

Thanks for Read..
hope you Like and give your comment :D

Popular Posts